(فَرْعٌ) مِنْ الظَّاهِرِ سَمَكُ الْبَرِكِ وَصَيْدُ الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَجَوَاهِرُهُمَا وَشَجَرُ الْأَيْكَةِ وَثِمَارُهَا فَلَا يَجُوزُ فِيهَا تَحَجُّرٌ وَلَا اخْتِصَاصٌ وَلَا إقْطَاعٌ وَلَوْ إرْفَاقًا وَلَا أَخْذُ مَالٍ أَوْ عِوَضٍ مِمَّنْ يَأْخُذُ مِنْهَا شَيْئًا وَقَدْ عَمَّتْ الْبَلْوَى بِهَذَا فَلَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إلَّا بِاللهِ نَعَمْ يَمْلِكُهَا تَبَعًا لِلْبُقْعَةِ إذَا مَلَكَهَا كَمَا مَرَّ
(Sub Masalah) Termasuk yang sudah jelas adalah hukum ikan di kolam-kolam, hewan buruan darat dan laut serta kekayaan alam keduanya, pepohonan dan buah-buahan hutan, yang tidak boleh dicegah, dikuasai, diberikan kepada pihak lain oleh pemerintah, walaupun sebatas irfaq -memberi kewenangan memanfaatkan-, dan tidak poleh mengambil harta atau gantinya dari orang yang telah menguasainya. Dan fenomena semacam ini sudah umum terjadi, fa la haula wa la quwwata illa billah. Meskipun begitu, kekayaan alam yang telah disebutkan tadi bisa dimiliki dengan mengikuti kepemilikan lahan, ketika seseorang memiliki lahan tersebut seperti penjelasan yang telah lewat.
Batas negara tidak dapat menjadi ketentuan hukum kepemilikan, tetapi dapat menjadi ketentuan hukum dalam hak kekuasaan negara tertentu. Artinya, meskipun ikan tidak dapat dimiliki oleh negara tertentu tetapi negara mempunyai kekuasaan akan wilayah tertentu. Hal ini berdasarkan ibarat Abdul Qadir al-Audah dalam Tasyri’ al-Jina’i al-Islami
وَيَدْخُلُ فِي دَارِ الْإِسْلَامِ كُلُّ مَا يَتْبَعُهَا مِنْ جَبَالٍ وَصَحَارِي وَأَنْهَارٍ وَبَحِيرَاتٍ وَأَرَاضٍ وَجَزَرٍ وَمَا فَوْقَ هذِهِ جَمِيعًا مِنْ طَبَقَاتِ الْجَوِّ مَهْمَا ارْتَفَعَتْ
Dan setiap gunung, padang sahara, sungai, laut, lahan, pulau dan udaranya ke atas, yang mengikuti wilayah negara Islam itu termasuk wilayah negara Islam.
Sedangkan posisi ikan sebagai barang curian boleh dirampas oleh negara sebagai ta’zir mal. Hal ini diqiyaskan dengan kasus Nufail sepeti keterangan Muhammad bin Sulaiman al-Kurdi dalam Tasyri’ al-Jina’i al-Islami
EmoticonEmoticon