Dipedalaman Nisam (Aceh), di antara apitan pegunungan dan hamparan Sawah, tepatnya di desa Keutapang, disanalah seorang ulama sufi yang bernama Tgk. Hasballah Ali, beliau mengabdikan ilmu pada sebuah Dayah Salafi bernama Darut Thalibin, setelah pulang menuntut dari satu Dayah ke Dayah lainnya, menuntut ilmu agama kepada berbagai ulama. Sosok Tgk. Hasballah muda sebagai ulama, sudah mulai terlihat ketika beliau meninggalkan Nisam selesai menamatkan sekolah rakyat (SR), suatu pagi tepatnya masih dalam basahan embun dan kesejukan pegunungan di pagi hari, beliau menempuh perjalanan jauh, meninggalkan negeri Pase, menyinggahi Kuta Raja, lalu beliau mendaki keangkeran gunung Geurute.
Dibawah kaki gunung geurute, di sanalah, di pesisir Samudera Hindia, pada sebuah Dayah Salafi yang bernama BUDI (Bahrul Ulum Diniyah Islamiyah) Lamno (Aceh Jaya), Abu Hasballah muda menetapkan pijakan kaki, beliau memilih menuntut ilmu pada ulama di negeri Daya, yang bernama Abu Ibrahim Lamno. Meski beliau sering terlihat tertidur ketika sedang mengikuti pengajian, Tgk. Hasballah tidak lazimnya manusia lain, beliau langsung bisa mengulang membacakan kitab ketika sang guru meminta, “beliau langsung bisa, ujar salah seorang teman sepengajian.”
Bakat dan kecerdasan Tgk. Hasbalah terlihat jelas di pesantren Budi Lamno, tidak heran selesai melalui kelas enam pengajian, dirinya sudah dipercaya mengajar para santri pada kelas dibawahnya ketika guru yang bertugas berhalangan. Kepercayaan yang diberikan kepada Tgk. Hasballah ketika muda, merupakan sebuah pengakuan terhadap kecerdasan lelaki dari negeri Pase itu oleh para guru di negeri Daya, berbeda dengan kelaziman Tgk. rangkang (guru) yang lain, harus mempersiapkan dahulu materi pengajian, tidak demikian bagi Hasballah, dia cukup hadir diantara para santri, lalu langsung mengajar, semua materi kitab mengalir lancar dari kefasihan lidah putra Pase tersebut.
Selama mengikuti pendidikan di negeri Daya, Tgk. Hasballah juga sempat menjadi buruh tani bersama para santri lainnya pada sawah penduduk, pada masa panen raya, Hasballah muda menyingsingkan lengan, memegang sabit memotong setiap jumput padi dipersawahan Lamno, dari hasil pekerjaan itulah dirinya membiayai hidup selain mendapat infaq dari para penduduk.
Begitulah sedikit riwayat perjalanan Tgk. Hasballah dimasa muda, pada tahun 1983 dirinya kembali ke Nisam atas permintaan penduduk setempat untuk memimpin Dayah Darut Thalibin, sebuah Dayah yang didirikan ayahanda beliau bersama masyarakat setempat. Perjalanan pulang kekampung halaman itu sendiri juga membawa sebuah cerita unik, tepatnya pada 27 Sya'ban, Tgk. Hasballah tidak langsung pulang ke Keutapang, karena didalam perjalanan itu ketika melintas disebuah desa dia melihat ada kegiatan “Peh Rapai,” padahal malam itu bertepatan dengan perayaan agama lain, jadilah Tgk. Hasballah meneruskan ke Panton Labu, baru kemudian dia pulang ke Nisam.
Ditengah kehadirannya mengajarkan kalam Allah di pedalaman Nisam, Tgk. Hasballah mendapatkan jodoh ditanah kelahiran, seorang dara Pase Mursyidah binti H.Nurdin Wahid, putri pemuka masyarakat setempat, bersedia disunting Tgk. Hasbalah, padahal saat itu usianya sudah tidak muda lagi, “lon pike hana so tueng le,” (saya pikir tidak ada lagi yang mau), cetus Abu Hasballah menanggapi perkawinannya itu. Kehadiran Tgk. Hasballah membina pengajian kemudian terusik pada penghujung tahun delapan puluhan, gejolak berdarah antara Gerakan Aceh Merdeka dan Pemerintah Jakarta pecah, perang itu mengusik ketenangan Nisam, kesejukan embun pagi di subuh berubah menjadi ketakutan.
Diantara kecemasan penduduk itulah Abu Hasballah tetap bersama masyarakat, warga kala itu sudah tidak berani lagi turun ke sawah, kebun ditinggalkan, sebuah kegelisahan muncul oleh adanya sebuah anggapan, orang yang ke sawah dan berkebun dianggap sebagai informan pihak yang bertikai. Dikala itulah dengan sendirinya Dayah Darut Thalibin menjadi tempat pengungsian warga, diantara rasa takut para warga terhadap kondisi perang, Tgk. Hasballah memobilisasi bantuan kepada para pengungsi dengan dibantu oleh para santri dan masyarakat lain.
“Saya hanya membantu meringankan beban musibah yang melanda saudara-saudara saya,” ujar Tgk. Hasballah suatu ketika dengan penuh kerendahan hati, begitulah kehadiran Abu dari pedalamaman Nisam ini dalam menganyomi masyarakat.
Bagi masyarakat setempat, Tgk. Hasballah diyakini memiliki Karamah, sosok Abu hanya bisa ditemui dengan niat yang baik, pernah terjadi beberapa orang yang ingin bertemu Abu tidak kesampaian, walaupun waktu pertemuan sudah direncanakan, tetapi ada saja yang menyebabkan pertemuan itu gagal terwujud, kata Abu Hamidan, seorang yang sangat dekat dengan Abu Hasballah Keutapang. Tgk. Hasballah juga dianggap bisa memprediksi kelebihan seseorang sejak lahir dan kesuksesan seseorang dalam meniti karir, masyarakat juga percaya air rajahan Abu bisa meredam kenakalan anak-anak dan remaja, karenanya Abu Hasballah membuat sebuah bak yang khusus berisi air rajahan untuk penduduk yang datang sewaktu - waktu.
Begitulah kehidupan Abu Keutapang disela keseharian memimpin Dayah, sebuah Dayah yang jauh dari lintasan ramai, terletak tepat di pertengahan Nisam, jauh dibelakang komplek PT.Arun , bersentuhan dengan kecamatan Muara Dua dan lokasi populer Paya Cot Trieng
EmoticonEmoticon