Perahu Kehidupan - Majelis Kesultanan Aceh juga menunjuk Tuanku Raja Keumala, Tuanku Hasyem
(sekaligus wali Tuanku Muhammad Daud) dan Teuku Panglima Polem sebagai
pelaksana jalannya pemerintahan dan selanjutnya memerintahkan Teuku Cik
Di Tiro sebagai pemimpin perang melawan Belanda. Pada tahun 1904, Sultan
Daud Syah ditangkap dan dibuang oleh Belanda ke Pulau Jawa. Menjelang
tertangkapnya beliau, ia menyerahkan kekuasaan kepada Teuku Mahyeddin di
Tiro (putra bungsu Teuku Tjik Di Tiro) melanjutkan peperangan melawan
Belanda. Perang Aceh berakhir pada tahun 1911 setelah wafatnya Teuku
Maat Cik di Tiro (cucu Teuku Cik Di Tiro) dalam suatu peperangan melawan
Belanda. Sementara Sultan Aceh, Muhammad Daud Syah sendiri meninggal
pada tahun 1939 dalam masa pengasingannya di Jakarta.
Sultan Aceh terakhir ini memiliki seorang putra sulung, calon Putera
Mahkota Kesultanan Aceh Rayeuk, yaitu Tuanku Raja Ibrahim. Sebagai
putera seorang raja, kehidupan
Raja Ibrahim penuh dengan pengalaman dan petualangan. cukup beragam. Ia
mengunjungi negara-negara Eropa bahkan Belanda hingga bertemu dengan
Ratu Wilhelmina. Menjelang dewasa, Tuanku Ibrahim mengikuti jejak sang
ayah bergerilya di hutan-hutan melawan Belanda. Pada tahun 1937, ia
kembali ke Aceh. Selama di Aceh, Raja Ibrahim bekerja sebagai seorang
Mantri Tani di Sigli dengan penghasilan sebesar 9.000 rupiah pada tahun
1940an. Ia menetap di Lam Lho bersama istri dan ke-15 anaknya.
Harapannya yang paling besar adalah berkunjung ke Jakarta untuk zirah ke
makam ayahnya Sultan Alaidin Daudsyah.
Seorang anggota DPRD Aceh yang datang berkunjung untuk menjenguknya, mendapati hidup Raja Ibrahim dalam keadaan yang sangat memprihatinkan. “Untuk hidup wajar saja dengan uang sebegitu, tentu susah”, keluhnya. Kemudian dengan SK no. 100/76 dari Pemda Aceh saat itu, Raja Ibrahim memperoleh sebuah rumah kecil. Ia juga memperoleh bantuan uang sebesar Rp. 5000,- dari Sultan Hamengkubuwono IX serta bantuan-bantuan lain dari Pemda maupun Depdagri. Meski demikian bantuan-bantuan tersebut tidaklah mencukupi untuk hidup lebih layak apalagi sebagaimana mestinya seorang Raja/Sultan. Bahkan rumah bantuan pemerintah juga wajib dikembalikan setelah dirinya meninggal dunia.
Hingga sepeninggal beliau pada tahun 1979, Raja Ibrahim tidak pernah kembali lagi ke Jakarta sebagaimana keinginannya tersebut. Kisah di atas merupakan perjalanan kehidupan yang menggambarkan kegagalan kita dalam melihat sejarah dan para saksi matanya yang telah berkubang lumpur dan bahkan menumpahkan darah bagi kemerdekaan dan kemajuan generasi berikutnya. Ironis, apabila sejarah dipandang sebelah mata, apalagi sekarang dimanfaatkan dan dimanipulasi demi kepentingan penguasa yang akhirnya mengaku sebagai pewaris kejayaan Aceh, atau mengaku-ngaku sebagai Sultan/Wali Nanggroe Aceh Rayeuk Darussalam.
Juga Baca Berita Kisah Islam Lainnya :
Seorang anggota DPRD Aceh yang datang berkunjung untuk menjenguknya, mendapati hidup Raja Ibrahim dalam keadaan yang sangat memprihatinkan. “Untuk hidup wajar saja dengan uang sebegitu, tentu susah”, keluhnya. Kemudian dengan SK no. 100/76 dari Pemda Aceh saat itu, Raja Ibrahim memperoleh sebuah rumah kecil. Ia juga memperoleh bantuan uang sebesar Rp. 5000,- dari Sultan Hamengkubuwono IX serta bantuan-bantuan lain dari Pemda maupun Depdagri. Meski demikian bantuan-bantuan tersebut tidaklah mencukupi untuk hidup lebih layak apalagi sebagaimana mestinya seorang Raja/Sultan. Bahkan rumah bantuan pemerintah juga wajib dikembalikan setelah dirinya meninggal dunia.
Hingga sepeninggal beliau pada tahun 1979, Raja Ibrahim tidak pernah kembali lagi ke Jakarta sebagaimana keinginannya tersebut. Kisah di atas merupakan perjalanan kehidupan yang menggambarkan kegagalan kita dalam melihat sejarah dan para saksi matanya yang telah berkubang lumpur dan bahkan menumpahkan darah bagi kemerdekaan dan kemajuan generasi berikutnya. Ironis, apabila sejarah dipandang sebelah mata, apalagi sekarang dimanfaatkan dan dimanipulasi demi kepentingan penguasa yang akhirnya mengaku sebagai pewaris kejayaan Aceh, atau mengaku-ngaku sebagai Sultan/Wali Nanggroe Aceh Rayeuk Darussalam.
EmoticonEmoticon