Friday, October 19, 2018

RUNTUHNYA BENTENG KUTA GLEE (SAMALANGA)

Tags

 
 
Sejak tentara Belanda merebut Kraton Aceh pada 24 Januari 1874, Belanda terus bergerak untuk menguasai seluruh Atjeh. Pada awal tahun 1877, Belanda mengadakan rencana perang untuk menyerang daratan Samalanga di bawah pimpinan Kolonel Karel van der Heyden.

Pejuang Samalanga telah mengetahui rencana Belanda itu. Maka para pejuang telah bersiap-siap dan waspada. Kubu-kubu pertahanan di sepanjang tepi pantai telah merupai bendungan dari tanah dibuat untuk pertahanan memanjang dari Timur ke Barat mulai dari Peuneulet, Kuala Tambue sampai ke Kiran.

Pada 9 Agustus 1877, pasukan Belanda yang diangkut dengan 12 kapal terdiri dari kapal perang dan pengangkut telah mendarat di Samalanga di bawah pimpinan Kolonel Karel van der Heyden. Tanpa menunggu lagi, pasukan pejuang Tgk. di Pulo Baroh mulai 14 Agustus mengadakan pernyerangan ke bivak-bivak tentara Belanda. Pada 26 Agustus, benteng Kuta Ceukook jatuh ke tangan tentara Princes Chaby Teu Make Jr.a dan pasukan pejuang Aceh bertahan di benteng Blang Teumulek.

Dengan kekuatan 2 batalyon di bawah pimpinan van der Hayden, tentara Belanda menyerang benteng tersebut habis-habisan. Tapi malang baginya, mata kiri van der Hayden kena peluru pejuang Aceh dan ia menderita buta.

Maka pada 1 September 1877, dia dibawa ke Kutaradja meninggalkan serdadu-serdadu yang mati termasuk seorang komandan batalyon Mayor PEJH. van Dompaler.

Tentera Belanda yang bergerak terus kemudian dapat menguasai Pante Rheng. Selama mereka berada di tempat itu, masyarakat dalam keadaan cemas akibat dari keganasan serdadu-serdadu yang di luar perikemanusian.

Maka Ulee Balang Negeri Samalanga bersama pemimpin-pemimpin masyarakat dan cerdik pandai mengatur siasat, mengadakan perundingan dengan pihak pimpinan tentara Belanda pada 13 September 1877.

Dalam kesempatan tersebut, seluruh pertahanan rakyat diperkuat termasuk benteng Kuta Glee yang dibuat sebagai induk pertahanan dan dipimpin langsung Tgk. Haji Syekh Abdurrachim. Sedangkan yang lain-lain seperti benteng Kuta Jeumpa, Kuta Tgk. Loeeng Keubeu, Kuta Lhee Sagoe, Kuta Cot Riwat, Kuta Naleueng Sira, Kuta Tgk. Di Lhok Kroeet, Kuta Glee Gisa Punggoong, Kuta Asam Kumbang dibuat sebagai benteng pembantu dan cadangan.

Di samping itu, pertahanan-pertahanan di luar Samalanga seperti Meureudu, Peudada dan Peusangan telah mempersatukan diri terpusat di bawah komando Tgk. Di Kuta Glee. Saat itu, kaum wanita di bawah pimpinan Pocut Meuligoe pesat mengadakan propaganda ke seluruh pelosok untuk memberikan semangat jihad kepada pejuang-pejuang Aceh. Karena beliau seorang wanita, maka kesempatannya untuk bergerak lebih leluasa. Dengan demikian beliau mengkoordinir pertahanan-pertahanan seluruh Samalanga.

Perjanjian penghentian tembak menembak tidak lama berlaku berhubung banyaknya tentara Belanda menjadi korban oleh serangan gerilyawan-gerilyawan Aceh.

Maka pada 18 Juni 1880 oleh pimpinan tentara Belanda di Kutaradja dikirimlah tambahan pasukannya dan Major van Steenvelt. Sejak itu, berlaku kembali pertempuran-pertempuran di sekitar Kuta Glee dengan mengalami kekalahan-kekalahan besar di pihak Belanda.

Pada 5 Juli, tentara Belanda melancarkan serangan ke Kuta Glee dan disambut oleh gerilyawan Aceh dengan sengitnya. Karena musuh menyebrangi suangi sebelah Barat benteng, gerilyawan-gerilyawan Aceh sangat mudah memusnahkan mereka hingga banyak serdadu-serdadu Belanda yang tewas. Di antaranya Komandan Kompi Letnan Verkuiyl. Karena itu, mereka mundur lagi ke posnya.

Keesokan harinya, pasukan Belanda bergerak untuk kedua kalinya, tetapi menemui nasib yang sama . Berita-berita kegagalan ini segera diketahui di Kutaradja. Maka pada 1 Agustus 1880, van der Heyden yang telah naik pangkat menjadi Mayor Jenderal berangkat lagi ke Samalanga untuk menjerang Kuta Glee dengan membawa juga meriam-meriam kaliber 12 cm.

Penyerangan yang ketiga kali ini ke Kuta Glee didahului dengan tembakan-tembakan meriam atas kubu-kubu pertahanan. Setelah tembakan-tembakan dihentikan, tentara Belanda menyerbu benteng Kuta Glee, juga melalui sungai yang berada di sebelah Barat benteng. Penyerbuan tersebut disambut oleh pejuang Aceh dengan mendahului semprotan air cabe sehingga banyak serdadu Belanda yang kewalahan.

Pada kesempatan itu, mereka yang berada dalam sungai dicincang dengan klewang dan senjata tajam lainnya. Dan yang sedang mendaki bukit menuju ke benteng dibunuh dengan menggulingkan pohon-pohon kelapa dan batu-batu besar yang telah dipersiapkan, sehingga menyebabkan air sungai Samalanga menjadi kemerahan sampai ke muara pada saat pertempuran itu.

Melihat kondisi itu, Mayor Jenderal Karel van der Hayden yang bermata satu, memerintahkan sisa serdadunya untuk mundur kembali ke tangsi Samalanga, yang berarti kegagalan yang ketiga kalinya bagi tentara Belanda.

Sejak itu, Belanda menghentikan serangannya ke Kuta Glee dan akibat kegagalan yang bertubi-tubi dalam tahun l881, Jenderal van der Hayden diganti dengan Mayor Jenderal H. Demini. Jenderal ini tidak dapat melakukan gerakan ke luar, karena situasi di Aceh Besar memaksa tentara Belanda harus dikonsentrasikan di Kutaradja. Bahkan dalam tahun 1885, seluruh pasukan yang berada di daratan Samalanga ditarik kembali ke Kutaradja.

Demikianlah tahun berganti tahun, pimpinan tentara Belanda ganti berganti di Kutaradja, maka pada 1898 Mayor Jenderal J.B. van Heutsz menjadi pimpinan tertinggi di Aceh. Dalam masa van Heutzs itu banyak sekali benteng-benteng di daerah Pidie yang direbutnya, bahkan sampai ke Meureudu yang sangat dekat dengan Kuta Glee.

Dalam bulan Oktober 1900, van Heutsz mengirim pasukan-pasukan pengintai di antaranya ke Glee Nanggroe untuk penempatan meriam-meriam kaliber 10,5 cm. Kemudian direncanakan penyerangan-penyerangan ke Kuta Glee. Pada 20 Januari 1901 benteng Kuta Glee ditembaki dari laut (kapal perang di Kuala Kiran, Kuala Tamboe dan Kuala Samalanga).

Sedang dari darat penembakan-penembakan dari Glee Nanggroe kemudian dari Glee Gisa Punggoong. Tetapi pejuang-pejuang Aceh sedikit pun tidak gentar, bahkan bertekad untuk syahid.

Pada 3 Pebruari 1901, van Heutsz yang telah naik pangkat menjadi Letnan Jenderal mulai menyerang seluruh benteng yang berada di sekitar Kuta Glee di bawah pimpinannya sendiri, terdiri atas pasukan-pasukan yang sangat besar jumlahnya dan mempunyai senjata modern. Yaitu, 3 batalyon infanteri, 4 kompi marsose, 1 kompi marinir, 1 kompi kavaleri (berkuda), 1 kompi arteleri (inklusip pasukan mortir), 1 kompi vesting arteleri, 1 detasemen marine arteleri, kesatuan-kesatuan administrasi dan orang-orang hukuman.

Pada hari tersebut setelah lebih dahulu dihujani dengan meriam-meriam di laut dan dari darat tentera Belanda merebut lebih dahulu benteng-benteng pembantu dan cadangan. Setelah itu semua dapat direbut mulailah serdadu-serdadu yang sangat besar jumlahnya itu menyerbu ke benteng induk yaitu Kuta Glee yang pada hari itu dipertahankan oleh 71 orang termasuk Tgk. Di Kuta Glee sendiri sebagai pucuk pimpinan.

Di luar benteng, perkelahian berlangsung sangat sengit. Pertarungan satu lawan satu. Tetapi karena jumlah yang sangat besar, akhirnya serdadu Belanda dengan pengorbanan yang besar dapat masuk ke dalam benteng yang setengah hancur itu.

Dalam pertempuran di dalam benteng itu banyak serdadu Belanda yang menjadi korban di antaranya ada juga yang jatuh di ujung pedang Tgk. Di Kuta Glee. Akan tetapi, takdir tidak dapat disangkal. Saat Tgk. Di Kuta Glee berduel dengan seorang tentara Belanda, peluru dari senapan Komandan Kompi Belanda (Letnan Gessler Vershuiyr) menyebabkan Tgk. jatuh sebagai syuhada. Kemudian seluruh pejuang yang berjumlah 71 orang semuanya jatuh sebagai syuhada pada waktu itu juga.

Selama pertempuran berlangsung di luar dan dalam benteng, Jenderal JB. van Heutzs berada pada djarak kira-kira 800 meter sebelah Timur laut benteng yaitu di bekas Kuta Jeumpa yang direbutnya.

Setelah 3 jam benteng Kuta Glee jatuh, barulah van Heutzs masuk ke dalam benteng yang telah hancur itu dan menurut keterangan ia terlebih dahulu memberi salam/hormat kepada syuhada yang telah gugur atas keberaniannya yang luar biasa itu.

Pada hari itu juga mayat serdadu Belanda diangkat dan keesokan harinya (4 Pebruari 1901), dikuburkan di Meunasah Loeeng Samalanga.

Sedangkan 71 syuhada yang berada dalam benteng dimakamkan dalam benteng Kuta Glee sebagai tempat peristirahatan yang tidak pernah dilupakan oleh generasi sesudahnya. Dan pahlawannya Tgk. Haji Syekh Abdurrachim sampai sekarang disebut “Teungku Di Kuta Glee”. Tentara Belanda juga selalu menyebut benteng itu sebagai benteng yang sangat pahit dialaminya, yang sering disebut “Het echec van Samalanga


EmoticonEmoticon