Tuesday, December 18, 2018

1 Januari, Inilah Sejarah Masa Lampau di Atjeh


  • - Pendirian Rumah Rungko, rumah Adat Kluet yang terletak di Desa Koto, Kluet Tengah, Kabupaten Atjeh Selatan (1 Januari 1861 Masehi oleh Raja Menggamat)
  • - Serangan ke Lueng Bata (1 Januari 1875)
  • - Wafatnya Teungku Chik di Tiro Muhammad Saman (1 Januari 1891, beliau wafat di benteng Aneuk Galong, Atjeh Besar dan dimakamkan di Indrapuri)
  • - Teuku Johan Pahlawan (1 Januari 1894, Pada waktu itu Teuku Umar dihadiahi gelar Teuku Johan Pahlawan Panglima Besar Nederland oleh Belanda)
  • - Deklarasi Tapaktuan (1 Januari 1934, ditandatangani oleh perwakilan pemuka adat dan Perwakilan Gubernur Hindia Belanda di Atjeh pada saat itu)

SELAIN disambut dengan kemeriahan tahun baru, 1 Januari juga menjadi tanggal yang meninggalkan banyak kisah dan sejarah di Atjeh.

Selain kisah perlawanan melawan penjajahan Belanda, ada beberapa kisah menarik yang belum ramai kita dapatkan literaturnya, termasuk salah satu perjanjian pihak Kolonial Belanda dengan masyarakat Atjeh dalam rangka menyelamatkan hutan Leuser atau yang saat ini dikenal dengan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) di Atjeh Tenggara.

Inilah beberapa kisah sejarah yang berhasil kami rangkum dari berbagai sumber, sebagai bagian untuk mengingatkan sejarah yang terjadi pada 1 Januari di tanoh Serambi Mekkah.

Pendirian Rumah Rungko

Rungko adalah sebutan lain dari rumah Adat Kluet yang terletak di Desa Kuto, Kluet Tengah, Kabupaten Atjeh Selatan.

Rumah adat yang sekilas mirip dengan rumah Atjeh dipesisir timur ini didirikan pada tanggal 1 Januari 1861 Masehi oleh Raja Menggamat.

Adapun raja Manggamat pada waktu itu bernama Imam Hasbiyallah Muhammad Teuku Nyak Kuto, beliau juga salah satu keturunan dari pejuang Kluet, Tengku Imam Sabil yang tercatat sebagai seorang pejuang perang saat melawan Belanda dalam Perang Lawe Melang Menggamat.

Rumah Rungko yang berbentuk panggung ini selain menjadi kediaman raja pada waktu itu juga digunakan sebagai tempat memutuskan perkara dan musyawarah jika terjadi perselisihan dan sengketa dalam kehidupan masyarakat Menggamat.

Kini, untuk menemukan Rungko di Kluet tidak semudah dulu lagi, hanya ada beberapa yang tertinggal dan itupun sudah mulai tidak terawat lagi.

Serangan ke Lueng Bata

Kecamata Lueng Bata, Kota Bandar Atjeh dikenal memiliki sederet sejarah perjuangan dan ulama pada masa penjajahan Belanda, bahkan Sultan sempat diungsikan dari Keraton pada waktu serangan Belanda menempur pasukan Atjeh di Masjid Raya Baiturrahman.

Tanggal 1 Januari 1875, disinilah sejarah itu berawal saat pasukan marsose Belanda yang di bawah komando Wilhelmus van Nassauwe, anak buah dari pimpinan Kolonel Pel menyusun strategi untuk menggempur pejuang Atjeh di bawah pimpinan Tgk Imum Lueng Bata, dan sahabatnya Panglima Polem serta Tuanku Hasyim yang ingin menguasai semua daerah di Kutaraja untuk diduduki oleh Belanda.

Lebih kurang 1000 orang pasukan Belanda sejak pagi buta sudah berangkat dari Keraton ke arah Lueng Bata, sedang sebagian lainnya berangkat pantai Ulee Lheue dengan tujuan akhir akan menyerang Lueng Bata secara bersamaan.

Namun, naas menimpa pasukan Belanda disepanjang perjalanan mereka telah dihadang oleh beberapa pejuang Atjeh yang berani mati dengan menggunakan kelewang dan bambu runcing membunuh setiap pasukan yang dapat mereka bunuh.

Disaat hampir tiba sore hari, komandan Wilhelmus van Nassauwe akhirnya membunyikan terompet yang dianggap oleh pasukan Belanda lainnya sebagai pertanda mereka sudah sampai ke tujuan (Lueng Bata, -red). Sayangnya, isyarat tersebut menandakan pasukan mereka tengah digempur oleh pejuang Atjeh yang mengakibatkan semua pasukan cedera dan terpaksa harus kembali ke keraton dalam keadaan sangat parah.

Bantuan pasukan dari keraton pun tidak diijinkan untuk melanjutkan perang, karena memprioritaskan kepulangan pasukan yang cedera. Penyerangan 1 Januari 1875 akhirnya gagal, dan Kolonel Pel pun mengalami kekalahan pertamanya.

Wafatnya Tgk Chik di Tiro

Nama aslinya adalah Muhammad Saman, namun beliau lebih dikenal dengan nama Tengku Cik Di Tiro atau sering disebut Tgk Chik di Tiro Muhammad Saman, lahir 1836 Cumbok Lamlo, Tiro, Kabupaten Pidie. Beliau adalah seorang ulama dan juga pejuang Atjeh yang memimpin rakyatnya untuk melawan Belanda.

Tgk Chik di Tiro memilik pasukan perang sabi, di bawah kepemimpinannya ini membuat Belanda mengalami banyak kesulitan saat ingin menduduki Atjeh Besar.

Untuk menghentikan perjuangan Tgk Chik di Tiro, akhir Belanda mengirimkan seorang wanita dengan menghidangkan makanan yang telah diberikan racun. Akhirnya, beliau wafat di benteng Aneuk Galong, Atjeh Besar pada tanggal 1 Januari 1891 dan dimakamkan di Indrapuri.

Hari itu, menjadi waktu yang berduka bagi pasukannya. Walaupun demikian, perjuangan perang rakyat Atjeh sepeninggalan beliau tidak pernah surut dan terus dilanjutkan oleh keturunannya hingga seluruh anak beliau wafat.

Kegigihan yang dilakukan oleh Tengku Cik Di Tiro dalam membela bangsa Atjeh membuat pemerintah Nanggro atjeh mengangkat beliau sebagai Pahlawan Perjuangan Kemerdekaan Sesuai dengan Surat Keputusan Sultan Iskandar Muda.

Teuku Johan Pahlawan

Teuku Umar, yang merupakan suami Cut Nyak Dhien juga memiliki referensi perjuangan sejarah yang sangat hebat.

Pada waktu itu Teuku Umar dihadiahi gelar Teuku Johan Pahlawan Panglima Besar Nederland oleh Belanda, tidak hanya itu pihak Belanda juga memberikan bantuan pasukan (legium) sebanyak 250 orang dengan senjatan lengkap dan dana untuk Teuku Umar memperkuat pasukannya.

Justu istrinya, Cut Nyak Dhien sempat bingung dengan pemberian gelar dari Belanda ini karena dinilai telah tunduk kepada penjajah, sehingga kerap membuat pahlawan wanita ini tidak menerima apa yang diberikan oleh Belanda kepada suaminya tersebut.

Pada tanggal 30 Maret 1896, Teuku Umar kemudian keluar dari dinas militer Belanda dengan membawa pasukannya beserta 800 pucuk senjata, 25.000 butir peluru, 500 kg amunisi, dan uang 18.000 dollar.

Dengan kekuatan yang semakin bertambah, Teuku Umar bersama 15 orang berbalik kembali membela rakyat Atjeh. Siasat dan strategi perang yang amat lihai tersebut dimaksudkan untuk mengelabuhi kekuatan Belanda pada saat itu yang amat kuat dan sangat sukar ditaklukkan.

Deklarasi Tapaktuan

Pada tahun 1920-an Pemerintah Kolonial Belanda memberikan ijin kepada seorang ahli geologi Belanda bernama F.C. Van Heurn untuk meneliti dan mengeksplorasi sumber minyak dan mineral yang diperkirakan banyak terdapat di Atjeh. Setelah melakukan penelitian tersebut, Van Heurn menyatakan bahwa kawasan yang diteliti tidak ditemukan kandungan mineral yang besar dan menyatakan bahwa pemuka-pemuka adat setempat menginginkan agar mereka peduli terhadap barisan-barisan pegunungan berhutan lebat yang ada di Gunung Leuser.

Sebagai gantinya, Van Heurn mendiskusikan hasil pertemuannya dan menawarkan kepada para wakil pemuka adat (para Datoek dan Oeloebalang) untuk mendesak Pemerintah Kolonial Belanda untuk memberikan status kawasan konservasi (Wildlife Sanctuary).

Setelah berdiskusi dengan Komisi Belanda untuk Perlindungan Alam, pada bulan Agustus 1928 sebuah proposal disampaikan kepada Pemerintah Kolonial Belanda yang mengusulkan Suaka Alam di Atjeh Barat seluas 928.000 ha dan memberikan status perlindungan terhadap kawasan yang terbentang dari Singkil (pada hulu Sungai Simpang Kiri) di bagian selatan, sepanjang Bukit Barisan ke arah lembah Sungai Tripa dan Rawa Pantai Meulaboh di bagian utara.

Proposal tersebut akhirnya direalisasikan dengan pada tanggal 6 Februari 1934 dengan diadakannya pertemuan di Tapaktuan, yang dihadiri perwakilan pemuka adat dan Pemerintah Kolonial Belanda.

Pertemuan tersebut menghasilkan “Deklarasi Tapaktuan”, yang ditandatangani oleh perwakilan pemuka adat dan Perwakilan Gubernur Hindia Belanda di Atjeh pada saat itu (Gouverneur van Atjeh en Onderhoorigheden, Vaardezen). Deklarasi tersebut mulai berlaku mulai tanggal 1 Januari 1934 (Deze regeling treedt in werking met ingang 1 Januari 1934).

Deklarasi tersebut mencerminkan tekad masyarakat Atjeh untuk melestarian kawasan Leuser untuk selamanya sekaligus juga diatur tentang sanksi pidananya — baik padana penjara maupun pidanya denda.

Dalam salah satu paragraph Deklarasi Tapaktuan disebutkan sebagai berikut:

“Kami Oeloebalang dari landschap Gajo Loeos, Poelau Nas, Meuke’, labuhan Hadji, Manggeng, Lho’ Pawoh Noord, Blang Pidie, dan Bestuurcommissie dari landschap Bambel, Onderafdeeling Gajo dan Alas. Menimbang bahwa perlu sekali diadakannya peratoeran yang memperlindungi segala djenis benda dan segala padang-padang yang diasingkan boeat persediaan. Oleh karena itoe, dilarang dalam tanah persediaan ini mencari hewan yang hidoep, menangkapnya, meloekainya, atau memboenoeh mati, mengganggoe sarang dari binatang-binatang itoe, mengeloerkan hidoep atau mati atau sebagian dari binatang itoe lantaran itoe memoendoerkan banyaknya binatang”.

Hingga saat ini gunung Leuser disebut sebagai wilayah Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) yang terbagi dalam 4 seksi wilayah dan mengikuti struktur organisasi taman nasional tipe A, yaitu di Atjeh Tenggara, Atjeh Selatan, Langkat Sikundur, dan Langkat Selatan. Khusus wilayah Atjeh Tenggara dengan didasarkan oleh karakteristik suku, dibagi lagi menjadi 2 wilayah koordinasi yaitu wilayah Gayo Lues di Blangkejeren dan wilayah Lembah Alas di Kutacane.

Itulah sederetan sejarah masa lampau di Atjeh yang bertepatan pada tangga 1 Januari, awal tahun baru.

Friday, October 19, 2018

Jejak Islam di negeri Peureulak Kerajaan Pereulak


kemudian dipimpin Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ibrahim Syah Johan Berdaulat yang melanjutkan peperangan melawan Sriwijaya hingga tahun 1006 Masehi.

KHALIFAH Usman bin Affan mengirimkan delegasi ke China pada tahun 30 Hijriah atau 651 Masehi. Dalam perjalanannya, delegasi ini singgah di Atjeh seraya memperkenalkan Islam. Salah satu lokasi persinggahan delegasi tersebut yaitu di Peureulak.

Sejak berlabuhnya delegasi dari Arab tersebut banyak penduduk setempat yang mengikuti ajaran Islam. Hal tersebut diikuti dengan kerapnya pedagang-pedagang muslim yang singgah di Peureulak untuk membeli hasil bumi sembari berdakwah.

Sebagai penghasil kayu yang terkenal, Peureulak menjadi sorotan pedagang-pedagang asing sehingga menjadi pelabuhan niaga yang maju pada abad VIII hingga abad XII. Perkembangan pelabuhan tersebut membuat Perlak menjadi kota niaga.

Pendiri kesultanan Peureulak adalah Sultan Alaidin Sayed Maulana Abdul Aziz Syah yang merupakan keturunan pendakwah dari Arab. Kerajaan Peureulak didirikan pada tanggal 1 Muharam 225 Hijriyah atau 840 Masehi. Saat itu kerajaan Mataram Hindu di pulau Jawa masih berjaya.

Sultan Alaidin Sayed Maulana Abdul Aziz Syah adalah Putra dari Sayed Ali Al-Muktabar turunan Arab dan Puteri Makhdum Tansyuri dari kerajaan Peureulak. Selanjutnya terus menerus Generasi Dinati Sayed Maulana Abdul Aziz Syah memerintah Kerajaan Peureulak dari 840 hingga 864 Masehi.

Sultan Alaidin Sayed Maulana Abdul Aziz Syah dan isterinya Putri Meurah Mahdum Khudawi keduanya merupakan pendiri kerajaan Islam pertama di Asia Tenggara. Pendiri Kerajaan Perlak ini mangkat pada 864 Masehi di Gampong Bandar Khalifah, Bandrong, Kecamatan Peureulak, Atjeh Timur Provinsi Atjeh.
================
Langkah pertama yang dilakukan Sultan Alaidin saat mendirikan Kerajaan Perlak adalah mengubah nama Bandar Peureulak menjadi Bandar Khalifah.

Hal tersebut dilakukan guna menjauhi pengaruh #Hindu yang saat itu masih berkembang subur di Nusantara.
Sebagai kerajaan Islam pertama di Asia Tenggara, Kerajaan Perlak kian berjaya dengan letak pelabuhan yang strategis dan hasil alam yang melimpah.

Pada tahun 956 kerajaan ini dirudung konflik akibat ketegangan politik antara Sunni dan Syiah. Namun konflik ini berakhir dengan perdamaian dan membuat Peureulak dipecah menjadi dua kerajaan.

Pertama; Kerajaan Peureulak Pesisir yang dipimpin oleh Sultan Alaidin Sayed Maulana Abdul Aziz Syah. Kerajaan ini dipengaruhi oleh golongan Syiah.

Kedua; Kerajaan Peureulak Pedalaman yang dipimpin oleh Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ibrahim Syah Johan Berdaulat. Kerajaan ini dipengaruhi oleh Islam Sunni.

Tidak lama berpisah, dua kerajaan ini kemudian bersatu kembali saat Kerajaan Budha Sriwijaya menyerang Peureulak pada tahun 988 Masehi. Dalam pertempuran tersebut Sultan Alaidin Sayed Maulana Abdul Aziz Syah meninggal dunia.

Kerajaan Pereulak kemudian dipimpin Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ibrahim Syah Johan Berdaulat yang melanjutkan peperangan melawan Sriwijaya hingga tahun 1006 Masehi.

Meski muncul di awal-awal perkembangan Islam di Asia Tenggara, namun Kerajaan Peureulak memiliki tamaddun (kebudayaan) tinggi.

Kerajaan ini memiliki angkatan perang, hubungan diplomatik luar negeri, kemakmuran ekonomi dan pusat ilmu pengetahuan seperti dayah tertua di Asia Tenggara. Dayah tersebut diberinama Zawiyah Cot Kala.

Setelah lama berjaya, Kerajaan Peureulak kemudian mengalami kemunduran pada awal abad XIII. Sebagai penggantinya, muncul kerajaan baru di ujung Sumatera yaitu Kerajaan Islam Samudera Pasai yang dipimpin oleh Sultan Malikussaleh. Hingga sekarang Peureulak dikenal sebagai “Mekkah” nya Atjeh karena menjadi cikal bakal Islam di daerah ini, sementara Samudera Pasai dikenal sebagai “Kota Madinah” disebabkan sebagai kerajaan yang kemudian menyebarkan Islam ke seluruh Nusantara.

KISAH SYUHADA 44


Makam “Syuhada 44 “ yang berada di Desa Lheu Simpang, Kecamatan Jeunieb, Kabupaten Bireuen, adalah sebagai bukti sejarah heroiknya semangat rakyat Aceh dalam membela tanah air tidak bisa dilupakan begitu saja.

Ternyata masyarakat Aceh begitu besar semangatnya dalam berjihad, untuk membela harga diri,agama dan Republik ini dari setiap penjajahan.

Bagi rakyat Aceh , khususnya Aceh yang berada di Pandrah dan Desa Lhee Simpang Jeunieb,Kabupaten Bireuen, waktu itu sebagai bukti bahwa begitu gigih dalam membela agama dan tanah airnya, yaitu Indonesia.

Peristiwa itu terjadi tak terlepas dari awalnya perlawanan terhadap Jepang yang terjadi tanggal 2 Mei 1945. Sejarah telah itu tidak dapat dipungkiri bahwa dengan semangat kepahlawanannya Pang Akob bersama rekannya melakukan aksi melawan segala bentuk penindasan dan kedhaliman yang dilakukan penjajahan Jepang kepada rakyat.

Pada suatu hari, kamis tanggal 2 Mei 1945 tengah malam, Pang Akob bersama 40 orang pasukannya dari Lheu Simpang merapat ke Pandrah untuk menyerbu tangsi militer Jepang di Gampong Lhok Dagang, Pandrah.

Perjuangan jihat terhadap penjajahan Jepang itu digerakkan oleh sejumlah masyarakat, seperti Pang Akob, Teungku Ibrahim Peudada, Teungku Nyak Isa, Keuchik Usman, Keuchik Johan dan Teungku A Jalil. Mereka melalui dakwahnya membangkitkan semangat Jihad fisabilillah rakyat untuk berperang melawan tentara penjajahan.

Jepang dianggap sudah sangat melampau dan sangat dhalim dhalim terhadap rakyat dengan carakerja paksa. Karena itu, rakyat mulai sangat benci terhadap tingkah laku jepang yang tidak menghargai agama, budaya serta adat istiadat dalam masyarakat setempat.

Hal itulah yang menjadi dasar awal perjuangan rakyat Pandrah – Lheu Simpang yang dijadikan materi dakwah, yaitu dengan semangat jihad dalam melawan Jepang.

Rakyat Aceh sudah sangat jijik melihat tingkah polah Jepang, dengan sebab itu rakyat mulai membangkang terhadap kerja paksa yang dilakukan Jepang yang tidak berkeprimanusiaan.

Menurut cerita, awalnya salah seorang pemuda Kampung Meunasah Dayah, Kecamatan Jeunieb bernama Nyak Umar, kemenakan Pang Akob.

Nyak Umar dia ditangkap karena membangkang menolak kerja paksa. Karena itulah Pang Akob memberi dorongan yang sangat kuat dalam berkampanye untuk mengobarkan semangat jihad melawan Jepang yang dianggap sudah sangat biadab.

Sebelum peristiwa itu, Pang Akob berangkat bersama kawan-kawannya untuk bertapa (Kaluet) di sebuah gua di Gle Kayee Kunyet, tepatnya hutan belantara pegunungan Gle Banggalang.

Sedangkan bagi masyarakat Gampong Lheu Simpang di bawah komando Keuchik Johan sudah siap siaga untuk menunggu perintah perang dalam melawan Jepang.

Nyak Umar juga adalah salah seorang korban yang pernah disiksa tentara Jepang dalam tahanan,karena dia menolak kerja paksa.

Menurut cerita, Nyak Umar waktu itu dia terpaksa menyamar sebagai salah seorang penjual obat keliling masuk kampung keluar Kampong dikawan Kecamatan Jeunieb dan Pandrah.

Dia bergerak dari satu tempat (Kampong) ke tempat yang lain sambil berbisik pada masyarakat, agarsetiap orang kesediaannya dalam ber jihad melawan jepang yang dianggap sudah sangat keterlaluandalam tindakannya itu.

Lain pula cerita dari pihak Mohd Daud, dia adalah salah seorang pemuda yang melarikan diri dari pendidikan Gygun Jepang. Mohd Daud yang lari dari latihan militer Jepang itu melatih para pemuda dalam tehnik peperangan di Gunung Banggalang untuk mempersiapkan melawan Jepang.

Mohd Daud sengaja melarikan diri meninggalkan camp latihan militer Jepang karena ingin bergabung dalam Perjuangan perang jihad yang akan dilakukan Pang Akob.

Menurut keterangan yang dihimpun, Pang Akob tidak ingin melancarkan perang terhadap Jepang pada tanggal 2 Mei 1945. Dengan alas an bahwa berbagai persiapan latihan dan strategi perang belum begitu memadai dan siap.

Namun begitu, peristiwa latihan Pang Akob itu sudah tercium oleh pihak tentara Jepang. Karena itu, pengikut Pang Akob mendapat perintah bahwa pada tengah malam menjelang tanggal 3 Meitersebut Tangsi tentara di Pandrah harus dilakukan penyerbuan.

Rahasia pengikut Pang Akob yang ingin menyerbu Tangsi Jepang juga tercium oleh tentara penjajah itu, yang dibenarkan oleh Sayed Ahmad dan Abdullah TWH dari Atjeh Syu Hodka (Jawatan Penerangan Aceh).

Mereka berdua, baik Sayed Ahmad maupun Abdullah TWH diberitahu oleh pihak tentara Jepang agar segera untuk berangkat ke Jeunieb dan pandrah, agar dapat untuk melakukan perdamaian dengan kelompok masyarakat yang ingin berontak disana.

Kedua anggota Jawatan penerangan Aceh itu ditugaskan oleh pihak Jepang, agar memberi penerangan kepada masyarakat Aceh bahwa pemerintahan Jepang akan memberikan “kemerdekaan” kepada Indonesia termasuk Aceh.

Namun sebelum Sayed Ahmad dan Abdullah TWH sampai diPandrah, peristiwa penyerangan Tangsi Jepang Lhok Dagang sudah terjadi pada tanggal 2 menjelang tanggal 3 Mei 1945.

Dalam pertempuran yang sangat dahsyat di tengah malam yang sangat gelap itu, pasukan Pang Akob menyerang tangsi militer Jepang di Lhok Dagang, Pandrah.

Karena itu, peristiwa penyerangan Tangsi tersebut lebih dikenal dengan nama “Perjuangan Prang Pandrah”.

Malam itu tidak ada pasukan Pang Akob yang menjadi korban. Sementara dipihak tentara Jepang di tangsi itu berhasil di bunuh, terkecuali satu orang tentara musuh itu berhasil lolos dan melarikan diri ke induk pasukannya di Jeunieb.

Dalam peristiwa malam itu, tujuh anggota Gyugun juga ditangkap hidup – hidup di Tangsi Pandrah, tapi tidak disiksa oleh anggota tentara Pang Akob. Kemungkinan diperkirakan sudah ada kata sepakat terlebih dahulu sebelum penyerangan itu dilakukannya.

Setelah penyerbuan Tangsi di Pandrah, Pang Akob dan seluruh pengikutnya mengundurkan diri ke markasnya di Gunung Banggalang untuk menyusun strategi penyerbuan kembali tahap selanjutnya.

Meskipun demikian, tentara Jepang sudah mengetahui keberadaan Pang Akob dan pengikutnya.Namun tentara Jepang tidak mau menyerang, serta berharap agar kelompok Pang Akob untuk menyerah, serta juga pihak Jepang ingin melakukan perjanjian perdamaian.

Rombongan Pang Akob mendapat bujukan tentara Jepang agar turun dari gunung dan tidak akan dihukum. Sedangkan Sayed Ahmad dan Abdullah TWH dikirim oleh tentara Jepang sebagai utusan dalam upaya perdamaian tersebut.

Pang Akob dan pengikutnya kepada para utusan tersebut dia berjanji bahwa kelompoknya siap turun gunung untuk perdamaian pada tanggal 5 Mei 1945.

Diharapkan oleh Pang Akob, agar tentara Jepang tidak perlu lagi harus naik ke gunung Banggalang.Pang Akob dia bersama pengikut setianya ditunggu ditempat yang sudah ditentukan.

Kemudian sampailah waktu yang dinanti – nantikan, yaitu tanggal 5 Mei 1945 para perwira tentara Jepang pagi itu sudah berkumpul di Meunasah Kampung Lheu Simpang dan siap siaga bersama pasukan tempurnya.

Dalam rombongan perwira tentara Jepang itu terdapat sejumlah pejabat Daerah, diantaranya Teuku Yakub, Guntyo Bireuen, Sayed Ahmad Dahlan dan Abdullah TWH dari Atjeh Syu Hodka.

Mereka dari pagi sudah berkumpul di halaman Meunasah Lheu Simpang menunggu kedatangan rombongan Pang Akob untuk perjanjian damai sebagaimana pernah dijanjikan dua hari sebelumnya.

Para perwira Jepang dan rombongan Tim perdamaian duduk di Meunasah. Sementara pasukan siap tempurnya berjaga-jaga di kawasan tersebut.

Tiba-tiba terdengar teriakan takbir: Allahu Akbar……! Allahu Akbar…….Allahu Akbar membahana terus menerus.

Gegap gempita suara takbir Allahu Akbar itu membuat tentara Jepang panik ketakutan dan kalang kabut. Dalam kepanikan tentara Jepang itu, Pang Akob dan para pengikut setianya keluar dari alur anak sungai yang rimbun ditutupi dedaunan. Mereka menyerbu ke halaman meunasah Lheu Simpang menebas tentara Jepang satu persatu.

Melihat peristiwa yang sangat tragis itu, Sayed Ahmad Dahlan dan Abdullah TWH lari puntang panting menyelamatkan diri dalam sebuah anak sungai (alue siwong). Keduanya baru keluar setelah perang reda dan badannya penuh dengan lumpur sampai ujung rambut.

Dalam peristiwa dahsyat berdarah itu, selain menewaskan perwira tentara Jepang dan sejumlah prajuritnya, serta juga Guntyo Bireuen, Teuku Yakub ikut menjadi tewas diarena pertempuran.

Menurut Sayed Ahmad Dahlan dan Abdullah TWH, ketika mereka keluar dari tempat persembunyian melihat mayat – mayat Jepang bergelimpangan bersama pasukan Pang Akob yang ikut tewas dalam perang tersebut.

Kemudian dapat diketahui, bahwa jumlah pasukan mujahidin yang syahid jumlahnya 44 orang. Pang Akob dan para pengikut setianya itu, kini dikenal sebagai “Syuhada 44 “dan di kuburkan di DesaLhee Simpang.

Tidak hanya sampai disitu, peristiwa berdarah ini, pihak Jepang melakukan penangkapan paksa terhadap siapa saja yang dia curigai terlibat dalam penyerangan Tangsi militer Jepang di Pandrah dan peristiwa berdarah dalam pertempuran di Meunasah Lheu Simpang.

Sejumlah pemuda ditangkap, sebagian orang setelah di proses pemeriksaan dan disiksa, sertadibebaskan dalam keadaan kondisi tubuhnya sangat menyedihkan.

Namun sebahagian lainnya yang dianggap terlibat langsung diangkut ke Medan.Bahkan dalam peristiwa itu ada yang tidak diperiksa, namun langsung di eksekusi sampai mati di sana.

Mereka yang dihukum mati, diantaranya : Teungku Abdul Wahab Ali, Teungku Usman Yusuf, Teungku Muhammad Yakub, Teungku Abu Thalib, Teungku M Hamzah, Teungku M Husin Bungong, Teungku Agam Cut, Teungku Abdullah, Teungku Harun, Teungku Husin Bin Pawang Usman, Teungku Abdullah Jeumpa Sikureung dan Teungku Abdul Jalil.

Sedangkan lainnya dipenjara di Pematang Siantar, bahkan ada diantara mereka mati di penjara karena penyiksaan berat.

Tewas di penjara itu adalah: Teungku Thalib Beungga, Teungku Badal Husin Peusangan, Teungku Muhammad Aji Yusuf dan Teungku Ilyas Yusuf.

Sedangkan yang dibebaskan dan kembali ke Aceh setelah Jepang kalah. Yaitu, Teungku Yahya, Keuchik Muhammad Ali, Teungku Muhammad Ali Tineuboek, Teungku Isham Banta Panjang, Teuku Ibrahim Beungga dan Teungku Muhammad Hasan Ali. Sementara 44 orang syahid dalam peristiwa perang Pandrah di Meunasah Lheu Simpang, pada 5 Mei 1945 adalah: Teungku Siti Aminah, Teungku Ibrahim Meulaboh (suami Teungku Siti Aminah), Teungku Mahmud Ben, Teungku Ismail Rahman, Teungku Sabon Piah, Teungku Usman Lheu, Teungku Muhammad Adam Rifin.Teungku Ibrahim Yusuf, Teungku Muhammad Yusuf Gagap, Nyak Abu Bakar Amin, Teungku Muhammad Amin, Teungku Mohd. Kasim, Teungku Meulaboh, Teungku Muhammad Hasan Banta, Teungku Sulaiman Ali, Teuku Nyak Isa, Teungku Kasim, Teungku Muhammad Yakob, Petua Jalil, Teungku Muhammad Yusuf Ben Dayah, Teungku Jalil Ben. Keuchik Johan, Abu Keuchik Lheu, Muhammad Gam, Teungku Saleh Ismail, Teungku Ismail Ahmad, Teungku Mahmud Bin Abdurrahman, Teungku Ahmad Itam, Teungku Ibrahim Ali, Nyak Umar Adam, Teungku Abdullah Ben, Teungku Sulaiman Lheu, Teungku Ahmad Gampong Blang, Teungku Ahmad Usman.Teungku Ibrahim Yusuf, Teungku Ismail Rifin, Teungku Abdullah Gampong Blang, Teungku Saleh Ben Tulot, Teungku Ibrahim Husin, Teungku Su’ud Tringgadeng, Teungku Saleh Gampong Blang, Teungku Nyak Zulkifli Yusuf, Teungku Saleh Bin Abdurrahman dan satu orang bayi dalam kandungan Teungku Siti Aminah

Tu Ulee Gle, Sejarah Yang Hilang

 

Di Atjeh sangat banyak terdapat makam-makam ulama terdahulu yang berada di berbagai tempat. Mereka merupakan orang yang terpandang dan di segani di kalangan masyarakat. Faktor ilmulah yang menyebabkan hal tersebut terjadi terutama kelebihan dalam ilmu agama.

Jika ditelusuri lebih jauh, makam-makam tersebut ternyata memiliki hubungan walaupun letaknya di tempat yang berbeda-beda dan dpisahkan oleh jarak yang cukup jauh. Hubungan dalam hal ini bisa jadi berupa hubungan antara guru dan murid, teman seperjuangan, ayah dan anak dan sebagainya.

Salah satu makam yang kami kunjungi di sela-sela waktu luang mengisi hari libur adalah berkunjung ke makam tu Hanafiah yang berada di kawasan glumpang Payong. Tu Hanafiah (Tu Ule Glee) merupakan endatoe (nenek moyang) dari pada Meuntroe Adan (Menteri wilayah Adan), serta Bentara Seumasat Glumpang Payong (kolonel intelijen wilayah Glumpang Payong).

Meuntroe Adan ini mendapat gelar kehormatan dari Sultan Iskandar Muda dengan sebutan Laksamana Negeri Ndjong (perwira tinggi angkatan laut Negeri Ndjong) yang diberikan oleh Sultan pada saat Sultan hendak menyerang Malaka pada tahun 1629 M.

Tu Hanafiah (Tu Ule Glee) meninggal ketika melakukan penyerangan terhadap benteng Portugis sekitar tahun 1521 yang berada di daerah kawasan Panteraja. Menurut keterangan warga saat beliau gugur dalam perang jenazah beliau dibawa pulang oleh kudanya ke Glumpang Payong. Kemudian Jenazah beliau di makamkan di daerah tersebut. Hingga saat ini makam beliau masih tetap terjaga dengan baik dan sudah di jadikan sebagai Cagar Budaya untuk wilayah Kabupaten Pidie.

Selain makam Tu ulee Gle di komplek makam ini terdapat juga makam Tgk Imum Lueng Bata. Beberapa peninggalan dari Tu Hanafiah atau yang sering disebut sebagai Tu Ulee Gle kini tersimpan rapi di Museum Cagar Budaya Atjeh, di antaranya, baju sirah (baju perang), pedang, dan kupiah.

Tidak banyak informasi yang kami dapat mengenai Tu Hanafiah ketika kami berkunjung ke sana. Hal ini karena sejarah tentang kehidupan beliau tidak diteruskan kepada generasi muda dan jikapun ada itu hanyalah sekedar cerita dari mulut ke mulut sehingga sejarah tentang kehidupan beliau masih perlu dipertanyakan kebenarannya. Jika keadaan seperti ini terus dibiarkan maka lama kelamaan sejarah yang selama ini ada akan hilang dan lenyap. Bahkan generasi selanjutnya tidak akan mengetahui tentang sejarah dari bangsanya. Oleh karna itu kita sebagai generasi penerus harus mencari dan mempelajari tentang fakta-fakta sejarah agar bisa diwariskan kepada anak cucu kita nantinya.

Sejarah Dayah Di Aceh


Dayah berasal dari kata zawiyah, kata ini dalam bahasa Arab mengandung makna sudut, atau pojok Mesjid. Kata zawiyah mula-mula dikenal di Afrika Utara pada masa awal perkembangan Islam, zawiyah yang dimaksud pada masa itu adalah satu pojok Mesjid yang menjadi halaqah para Sufi, mereka biasanya berkumpul bertukar pengalaman, diskusi, berzikir dan bermalam di Mesjid. Dalam khazanah pendidikan Aceh, istilah zawiyah kemudian berubah menjadi Dayah, seperti halnya perubahan istilah Madrasah menjadi Meunasah. Pada era Islam pertama masuk ke Nusantara yaitu masa Kerajaan Pereulak telah dikenal adanya temapat-tempat untuk menekuni dan mendiskusikan ajaran agama, salah satu tempat yang terkenal kala itu adalah Zawiyah Cot Kala, tempat inilah yang merupakan lembaga Pendidikan Agama pertama di Nusantara

Merujuk kepada Sejarah Kerajaan Islam Pereulak, Dayah secara historis telah ada sejak abad IX Masehi, demikian pendapat Tgk Muslim Ibrahim dalam tulisannya masyarakat Yang Adil dan Bermartabat. Keberadaan Dayah di Aceh telah ada bersamaan dengan masuknya Islam ke Aceh pada akhir masa kekhalifahan Usman bin Affan. Beberapa Dayah yang berkembang saat itu diantaranya; Dayah Cot Kala, Dayah Kuta Karang, Dar as-syariah Mesjid Raya, namun semua Dayah ini telah diobrak-abrik Belanda. Pada abad 5 Hijriah, Mesir menemukan kapal buatan Aceh yang terdampar di Laut Tengah. Pada masa Iskandar Muda, sebuah kapal Spanyol rusak di perairan Sabang, kemudian diderek ke pantai dengan gajah dan diperbaiki oleh satri-santri dayah Dar as-syariah.

Menurut Abdul Qadir Djailani dalam bukunya Peran Ulama dan Santri Dalam Perjuangan Politik Islam di Indonesia, Samudera Pasai merupakan pusat pendidikan Islam pertama di Indonesia dan dari sini berkembang ke berbagai daerah lain di Indonesia, hingga sampai ke Pulau Jawa. Salah seorang santri alumni Samudera Pasai adalah Maulana Malik Ibrahim, ia datang ke Gresik Jawa Timur pada tahun 1399 dan wafat pada tahun 1419, setelah melakukan dakwah selama dua puluh tahun lamanya, sebelumnya, Maulana Malik Ibrahim bertugas sebagai Muballigh di daerah Campa yang merupakan daerah Kesultanan Samudera Pasai, setelah Maulana Malik Ibrahim wafat, Dayah juga diteruskan oleh anak beliau Raden Rahmat (Sunan Ampel).

Secara pasti tidak diketahui kapan sebenarnya Dayah masuk ke Aceh. Namun, A. Hasyimi seorang Sejarawan Aceh, beliau berpendapat bahwa Dayah masuk ke Aceh sejak awal berdirinya Kerajaan Islam Pereulak pada Muharram 225 H/840 M. Salah satu penyebab sulitnya mengetahui dengan pasti kapan sebenarnya Dayah masuk ke Aceh karena minimnya penelitian dan perhatian yang cukup untuk menggali sejarah perkembangan Dayah, walaupun Anthony Reid dalam bukunya The Rope God, membahas tentang lembaga ini, tetapi hanya dibahas perkembangan pada masa abad ke-19 M dan pertengahan abad ke 20 M. Tidak hanya Anthony Reid, Hasbi Amiruddin dalam bukunya Ulama Dayah Pengawal Agama Masyarakat Aceh, juga membahas tentang Dayah tetapi lebih terfokus pada peranan ulamanya, bukan pada Dayah itu sendiri.

Jika merujuk pada hasil seminar tentang masuk dan berkembangnya Islam di Nusantara yang dilaksanakan di Rantau Pereulak pada tanggal 25-30 September 1980, mengenai tahun berdirinya Kerajaan Islam Pereulak sebagai Kerajaan Islam tertua, maka Dayah Cot Kala merupakan Dayah pertama di Aceh bahkan di Asia Tenggara. Setelah lahirnya Dayah Cot Kala, maka sesuai dengan tujuan pendirian dayah sendiri, yaitu untuk mencetak kader ulama sebagai petunjuk ummat, maka Dayah Cot Kala kala itu telah melahirkan para sarjananya yang dapat menyebarkan Islam ke seluruh Aceh sehingga lahirlah Dayah-dayah baru seperti Dayah Serele di bawah Pimpinan Tengku Syekh Sirajuddin yang didirikan pada tahun 1012 sampai dengan 1059 M, Dayah Blang Priya yang dipimpin oleh Tengku Ja`kob yang didirikan antara tahun 1155-1233 M, Dayah Batu Karang di Kerajaan Tamiang yang dipimpin oleh Tengku Ampon Tuan, Dayah Lam Keuneuen dari Kerajaan Lamuria Islam di bawah pimpinan Tengku Syekh Abdullah Kan`an yang didirikan antara 1196 sampai dengan 1225 M. Dayah Tanoeh Abee antara Tahun 1823-1836 M dan Dayah Tiro di Kecamatan Tiro Kabupaten Pidie antara tahun 1781-1795 M, dan dayah-dayah lainnya yang tersebar di seluruh Aceh di kala itu. Perkembangan Dayah juga dilakukan pada masa kemunduran Kerajaan Aceh Darussalam (Abad ke 18 dan ke 19 M). Dayah yang dibangun pada masa tersebut adalah Dayah Tgk Syik Kuta Karang, Dayah Lam Birah, Dayah Lamnyong, Dayah Lambhuk, Dayah Krueng Rumpet, mengenai tahun pendirian dayah tersebut belum didapat data yang pasti.

Keberadaan Dayah pada masa perang melawan Belanda mengalami kemunduran, ini karena seluruh Ulama Dayah dan santrinya itu ikut berjuang melawan penjajah Belanda, sebagian besar para Ulama dan Tengku dayah syahid di medan perang, di antaranya Tengku Chik Haji Ismail anak Tengku Chik Pante Ya`kop (Pendiri Dayah Tgk Chik Pante Gelima), beliau syahid dalam peperangan melawan Belanda dalam mempertahankan Kuta Glee (Kawasan Batee Iliek Kecamatan Samalanga Kabupaten Bireuen), bersama dengan Tengku Chik Lueng Kebue dan Tengku Syiek Kuta Glee.

Faktor lain yang menghambat perkembangan Dayah saat itu disebabkan karena Belanda melakukan upaya-upaya untuk menghambat pendidikan Agama Islam, serta Belanda menyebarkan pendidikan Barat di Aceh, sehingga menyebabkan Dayah terbengkalai. Selain itu, Belanda melakukan pembakaran terhadap Dayah-dayah dan membunuh seluruh staf pengajarnya serta membumihanguskan seluruh Perpustkaaan yang ada di Dayah, jika ada dayah yang masih bertahan itupun dibangun di daerah terisolir dan jauh dari pantauan Belanda.

Setelah usainya peperangan pada tahun 1904 M, barulah Dayah-dayah yang telah terbengkalai tersebut dibangun dan dibenahi kembali untuk dapat digunakan kembali ssebagai lembaga pendidikan, adapun Dayah yang dibangun kembali setelah perang Aceh usai antara lain, di Aceh Besar: Dayah Tanoeh Abee, Dayah Lambirah oleh Tengku Syik Lambirah, sedangkan adiknya Tengku Haji Ja`far (Tengku Syik Lamjabat) membangun Dayah Jeureula, selanjutnya juga dibenahi Dayah Lamnyong, Dayah Lambhuk, Dayah Ulee Susu, Dayah Indrapuri, Dayah Lamsenouen, Dayah Krueng Kale, Dayah Montasik dan masih banyak lagi Dayah-Dayah yang dibangun di Daerah Aceh Besar. Tidak hanya di kawasan Aceh Besar, Pidie, Aceh Urata, Aceh Barat dan beberapa daerah lainnya di Aceh juga ikut membenahi kembali Dayah yang hancur atau ditinggalkan karena perang kala itu.

Perlu dicatat, saat itu banyak Ulama yang ikut berjuang namun tidak sedikit juga diantara mereka yang mengasingkan diri keluar Aceh, diantaranya ke Negeri Keudah (Malaysia Sekarang). Salah satu tempat penting mereka berkumpul adalah Negeri Yan di Keudah, di sinilah mereka melanjutkan tradisi pendidikan Dayah selama perang Aceh berlangsung, setelah perang reda, mereka yang tadinya mengasingkan diri segera pulang untuk kembali melanjutkan dan membangun kembali sistem pendidikan Dayah yang telah mengalami kemunduran pada saat perang berkecamuk, di samping tokoh Ulama yang pulang dari negeri Yan, ada juga yang langsung pulang dari Mekkah, seperti Tengku Haji Muhmmad Thahir Cot Plieng, bahkan beliau pernah bertemu dengan Snouck Hogrounje saat sama-sama berada di Mekkah.

Setelah perang usai Dayah mengalami perkembangan, walaupun perkembangan yang terjadi pada waktu itu tidak begitu berarti, karena pada saat itu para Ulama Dayah disibukkan dengan perlawanan melawan Jepang, serta kebijakan Jepang saat itu menerapkan kerja paksa serta mengabaikan sisi-sisi lain dalam kehidupan masyarakat, termasuk pendidikan di dalamnya. Beberapa hal tersebut membuat Dayah dalam kurun waktu 3,5 Tahun masih jalan di tempat. Pada masa kemerdekaan mulai tahun 1945 M, perkembangan Dayah sudah menampakkan hasil yang cukup baik, ini dapat dilihat dari perkembangan Dayah Darusslamam Labuhan Haji Acah Selatan, Dayah MUDI MESRA Samalanga, Dayah BUDI Lamno, dan Dayah dayah yang lain. Tidak hanya Dayah, Sekolah pun mulai berkembangan, sekolah bersifat Negeri dengan dukungan dan bantuan dari pemerintah sedangkah Dayah umumnya bersifat pribadi yang dikelola oleh Pimpinan Dayah sendiri dengan bentuan swadaya masyarakat.